Sabtu, 02 Agustus 2014

Aku dan Bapak Calon Pacarku

   Aku menginjak usia 22 tahun saat itu, saat pertama kalinya melihat dia yang berhasil membuat jantung berdetak ketika lewat di depan rumahnya. Kau mau tahu ceritanya? Singkat kuceritakan:
    Sore itu, hari ketiga aku tinggal di daerah pinggiran Medan. Daerah yang tidak terlalu kumuh namun kau tidak susah untuk menemukan sampah yang menggunung. Aku sengaja dipindah tugaskan dari kantor pusat salah satu provider telekomunikasi di Jakarta untuk membantu mengurus kantor cabang yang ada di kota ini. Jarak kontrakanku dengan kantor cabang yang ada di tengah kota Medan lumayan jauh, sekitar 25 km, namun karena harga kontrakan di sekitar kantor cabang lumayan mahal, dan  ribet untuk mengurus klaim rumah kontrakan ke kantor pusat, maka aku memutuskan untuk menyewa kontrakan murah yang ada di pinggiran kota Medan. Lagian, angkutan umum dari rumah kontrakanku tidak sulit untuk sampai ke kantor cabang. Jadi cukuplah untuk menghemat tiga bulan ke depan. Untuk mencari rumah kontrakan, aku dibantu oleh salah seorang teman yang bernama Deni. Deni adalah salah satu Staff di kantor cabang yang akan mengajariku selama tiga bulan ke depan. Dan aku tinggal dibelakang rumah yang ditempati Deni dan kelurganya. Bukan, Deni belum berkeluarga kok. Maksudnya keluarga orang tuanya.
  
  Jadilah sore itu, selepas pulang kantor pukul empat sore, aku meminjam sepeda Deni untuk bersepeda keliling lingkungan rumah. Untuk merenggangkan otot yang kaku karena di Jakarta aku sudah terbiasa untuk berolahraga sore. Dan seperti yang sudah kau ketahui, aku melewati rumah yang salah satu penghuninya berhasil menyambet hatiku. Saat aku melewati rumah yang kelang dua gang dari kontrakanku, aku melihat seorang gadis berambut panjang tergerai berpakaian daster sedang menyiram tanaman didepan rumahnya. Ku taksir usianya lebih muda dariku, itu terlihat dari rambutnya yang belum beruban. Dia membelakangiku, namun entah sihir dari mana, wajah yang belum kukenali itu sudah berhasil menarik perhatianku.
“ Gila, sudah tahun berapa, masih ada aja anak gadis yang rajin siram bunga sore-sore gini.” Aku setengah berbisik kepada diriku sendiri sambil bersepeda melewatinya. Ternyata dia mendengar apa yang aku ucapkan. Dia memalingkan muka saat aku telah melewatinya, itu aku tahu karena rambut panjangnya terbawa angin hingga menyentuh lengan kananku. Aku sontak kaget, takut-takut menyinggung perasaannya. Aku berhenti dan memundurkan sedikit sepeda untuk mensejajarkan posisi dengannya.
“Eh, hai. Maaf..” aku gaguk sambil menggaruk-garuk kepala yang tentu saja tidak gatal.
Dia hanya melihatku datar tanpa ekspresi.
Disaat yang bersamaan, keluarlah sesosok pria berkumis dari pintu yang jaraknya kira-kira lima meter dari kami berdiri.
“Anak baru kau ya? Tinggal dimana?” tanyanya dengan suara yang tegas dan sedikit membentak.
“Eh, iya Pak. Saya tinggal di dua gang dari sini. Di gang kemenyan 2.” Kau tidak perlu terkejut aku tinggal di gang yang namanya saja sudah sangat horor.
“Udah berapa lama kau disini?” (kau yang diucapak lebih terdengar seperti ‘ko’)  si Bapak mulai membenarkan sarungnya.
“Tiga hari, Pak.” Dan aku mulai memberanikan diri mendekati Bapak berkumis dengan sarung kotak-kotak yang bolong dibagian paha kirinya. Bermaksud untuk terlihat sopan, aku menyalaminya, lalu menyalami gadis berdaster yang masih saja berdiri  terdiam yang kini aku berada disampingnya.
“Saya ini Pak RT disini, tau ko? Kok gak ngelapor kalo ko orang baru? Bah!”
“Oh, maaf, Pak RT, saya belum sempat.” Aku melirik gadis disampingku. Gile ini pak rt, udah tua istrinya singset bener. Masih muda lagi! Hebat!
“Kalo gitu, sekarang ajalah ko isi dulu buku kependudukan disini.” Dia masuk ke dalam rumahnya, seraya menyuruhku untuk mengikutinya.
Belum sampai di depan pintu dia membalikkan badannya “Ise nama kam?” (siapa nama kamu?) aku yang terbengong mendengar bahasa planet yang diucapkannya hanya berkata “ha? Ise?”
“Siapa nama abang.” Gadis berdaster yang kini tidak lagi sejajar denganku berkata.
    Amboi, kau harus tahu, seberapa kencang detak  jantungku karena mendengar suaranya. Suaranya lembut selembut brownies khas bandung yang kini gerainya sudah hampir ada di seluruh indonesia! Amboi, amboi, anda saja kau belum bersuami...
”Dian Pak, Diantaro Wahyudipra.” Aku menjawab singkat.
Tanpa merespon, si pak rt masuk saja ke rumah,  menghilang di balik tirai dan kembali lagi membawa buku double polio dan memberikannya kepadaku. “Ko isikan dulu,” sambil membenarkan sarungnya dia berkata lagi “Kam, ambilkan dia air putih.” Dan masuklah gadis berdaster ke dalam rumah.
“Istri bapak?’ aku mencoba berbasa-basi.
“Anakku.” Dia diam sejenak. “Suka kam?” aku terkaget mendengarnya. Gilak, to the point banget bapak ini.
Aku menunduk tidak menjawab, mengisi daftar kependudukan yang diberikan. Sebenarnya saat itu, jantungku berdetak lebih kencang, jauh lebih kencang dari pertama ketika aku melihat si gadis berdaster.
“Kalau kam suka, kam nikahkan saja dia.” Seperti tahu apa yang di pikiranku, si bapak langsung berkata.
Aku menaruh tangan didada. Mencoba menetralkan detakan jantung. “ah, bapak bisa aja. Saya baru tiga hari disini pak, rumah saya di jakarta umur baru 22 tahun, mana mungkin sudah berpikiran untuk menikah.”
“Kalo besok saya ajak anak bapak jalan-jalan, boleh?” Aku melanjutkan perkataanku.
“Besok sore, jam 4, bolehlah kau datang ke sini.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu, pak.” Aku mengembalikan buku daftar kependudukan ke Pak RT bertepatan dengan datangnya si gadis berdaster.
“Loh, ini minumnya bang.” Si gadis berdaster sedikit keheranan.
“Besok saja, kam bikinkan dia sirop merah.” Si Pak RT masuk duluan ke dalam rumah.
Si gadis berdaster menunduk tersipu.
***
    Seperti janjiku,keesokan harinya aku bertamu kembali ke rumahnya. Dan kali ini, betapa kagetnya aku ketika melihat gadis yang mulai ada dipikiranku sejak kepulanganku dari rumahnya sudah berdiri di depan pintu dengan pakaian yang lumayan stylish. Dress mini selutut yang masih dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Jantungku kembali berdetak.
    “Sore, Bang.” Dia membuka  pembicaraan.
    “Eh, sore.. na- namanya siapa, kak?” sudah menjadi kebiasaan di disini untuk memanggil ‘kakak’ atau ‘abang’ untuk orang yang belum dikenal. Sebagai tanda hormat dan menghargai.
“Artis, Bang. Artis Ginting.”
Buset!
    “Sudah datang, kam? Yoklah...!” Pak RT mengunci pintu dan menggandeng si gadis berdaster keluar dari rumahnya.

5 komentar:

  1. hahaha. bagus pat. tapi kurang klimaks. pastinya bisa lebih pecah lagi humornya. lanjuuuttt!! :)

    BalasHapus
  2. kocak x))
    itu aku kok tanpa sadar aku ngebayangin si tokoh Aku-nya gendut ya?

    BalasHapus
  3. Halo,

    I like your blog. Boleh minta email untuk kerjasama?

    Regards,
    Tizsa

    BalasHapus
  4. Jadi ceritanya nih si bapak ikut jalan jalan yaa, lucuk lucuk

    BalasHapus

Komentar dong...!! Anak pintar silahkan berkomentar :)

 
blogger template by arcane palette