Kamis, 31 Juli 2014

Membangun Cinta

Kau tetap mematuk rasa kepercayaan sedangkan sebelah pihak sibuk mendirikan rasa kasih sayang yang kokoh. Dan kau sibuk mengenang apa-apa yang 'mungkin' bisa kau jadikan tameng untuk kembali,  sedangkan dia sedang sibuk berusaha mengubur apa-apa yang disebut 'masa lalu'.  

    Hidup ini teramat lucu.  Kau sibuk memperjuangkan sesuatu,  disaat yang sama kau yang lainnya sibuk menikmati sesuatu tanpa usaha sedikitpun.  Kau berpikir keras untuk impian yang kau perjuangkan mati-matian, pun tidak apa-apa jika kau mengorbankan untuk kebahagiaan,  berbeda dengan sebelah pihak yang berpasrah dan menerima nasib baik tanpa berdoa sesering yang kau lakukan.  

Kau ingin aku memposisikan diri sebagai apa?  Aku ingin berselaras. Jika kau balik bertanya kepadaku.  Aku memperjuangkanmu.  Kau, memperjuangkan apa-apa yang menjadi penyeimbangku. 
Begitu, kah?  

Sabtu, 19 Juli 2014

Kadoa


20 Mei 2014
Aku bermunajat doa malam ini, agar di usiamu yang ke 26 besok, kau
mendapatkan apa yang selalu diinginkan setiap manusia yang telah
berpulang ke rumah terakhirnya: semoga kau terjauh dari siksa kubur,
dilapangkannya kuburanmu oleh-Nya dan kau ditempatkan disisi
terbaik-Nya. Amin.  Itukah doa yang kau inginkan dariku?

   19 Mei 2014
Rumahku ramai seketika,  raunganku memaksa tetangga keluar dari
kediamannya, tergesa masuk ke rumah kami.  Aku masih saja berdiri
tegak meraung.  Menangis sejadi-jadinya.
"Ikhlaskan,  ikhlaskan. " kata Bu Ita,  tetangga samping kanan
rumahku.  Aku mendengar isaknya juga. Sedihku semakin menjadi.
"Dia udah tenang,  Nidia sudah disisi Tuhan,  Dia sudah menjadi
pendamping Tuhan.  Tidak baik menangisinya dengan terlalu." Bu Ita
melanjutkan  ucapannya yang terhenti karena isak tangis.

Orang-orang terus ramai berdatangan.  Aku masih berdiri gamang dengan
tangis yang sudah mulai reda. Kulihat Kakak Pertamaku duduk terisak di
sudut dinding ruang keluarga. "Adikku..  Nidia..  Nidia... " Aku
mendengar suaranya memanggil nama Kakak Keduaku.

Aku berjalan menghampiri Kak Ninda--Kakak pertamaku yang masih terisak.
"Kak,  Kak Nidia pasti masuk surga kan? " Bukannya menenangkan,  aku
malah membuat tangisan Kak Ninda semakin keras.  "Kalo si Gendut udah
masuk surga,  kita gak boleh nangis-nangis. Dia nggak suka. " Suaraku
tersendat oleh isakku.  Aku tidak mengerti apa yang keluar dari
mulutku.  Namun,  kata-kata tersebut mampu meredakan tangisan Kak
Ninda.
"Dek,  Gendut pasti masuk surga. Insha Allah. " Tangannya mengelus pundakku.

Rumahku semakin ramai.  Saudara-saudara kami berdatangan dan langsung
memeluk kami.  Mereka ikut menangis.  Dan kembali pecahlah tangis kami
berdua.  Papaku sedang di dalam perjalanan untuk pulang.  Mama sedang
mengurus biaya rumah sakit. Jenazah belum datang.  Namun aku yakin,
Ruhnya sedang menatap kami yang bersedih-sedih ini.  Menangisi
kepergiannya yang mendadak.  Kepergiannya yang diluar akal. Umurnya
baru seperempaf abad.  Pernikahannya tepat sebulan yang lalu,  inainya
belum hilang sempurna,  Keluarga kami masih dalam keadaan bersuka.
Bergembira.  Dan kini diganti dengan tangis yang tak terkira.

Aku menggenggam tangan Kak Ninda.  Seperti meminta kekuatan lebih.
Bahwa ini memang kenyataan yang harus dihadapi. Namun nyatanya,
inilah sesungguhnya hidup yang nyata itu. Kau tak perlu menampar pipi
untuk meyakinimeyakini suati kejadian yang nyata.  Karena itu akan
menambah sakit lukamu. Kau hanya perlu menghadapi.  Ini proses hidup.
Kehilangan salah satu anggota keluargamu.  Kehilangan dengan cara yang
diluar akal pikiran.  Bukan karena sakit ganas, bukan karena
kecelakaan maut yang harus memisahkan kalian.

Tepat pukul 09.00 pagi,  jenazah kakakku datang.  Rumah semakin ramai.
Aku semakin tidak percaya,  Tubuh yang sedang digotong untuk
ditidurkan di atas tempat tidur mini berukuran 170 x 70 cm tersenyum
dengan mata terpejam.  Kak Ninda langsung menangis memanggil adiknya.
"Nidiaa.. " Aku menggenggam lengan Kak Ninda.  Menahan air mata yang
jatuh dari pelupuk.  Aku tidak boleh menangis,  bukan karena aku tidak
bersedih.  Melainkan ingin menunjukkan kepada Ruh Kak Nidia.
Bahwsanya aku telah ikhlas menerima kepergiannya.  Mungkin Tuhan punya
rencana lain.  Mungkin memang benar, Kak Nidia yang lebih sering
kupanggil Gendut lebih senang ditempatnya yang sekarang. Karena dia
tidak lagi merasakan sakit. Ingatanku memutar ke hari terakhir aku
berjumpa dengannya 15 jam sebelum aku mendapat telepon Mama pukul
06:00 pagi ini.

"Kau nggak capek jaga aku,Put?"
"Nggak,  Kak." aku menjawabnya singkat.
"Aku malu Put, malu lihat tubuhku sendiri. " dia berucap dengan suara
seraknya karena haus dan tidak diizinkan untuk minum oleh dokter
karena sejam lagi perban yang ada dikakinya harus diganti.
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu.  Aku berbalik badan.  Menyeka
ujung mata dan bergurau "Kakak pasti sembuh,  terus kita makan bakso
lagi. "
Dia tidak merespon ucapanku.

"Sakit,  Put." ucapnya lagi.
"Sini, Putri kipas, Kak." aku mengambil Kipas lipat yang ada diatas lemari.
"Bukan lukaku. Tapi hatiku. "
Aku tercengang mendengar ucapannya.  Mataku memanas.
"Sudahlah, Kak.  Allah nggak oernah tidur."
"Kau antar aku ke sebelah,Put. Aku mau kasih lihat diriku sama dia.
Aku mau lihat reaksi dia. " Kak Nidia masih berbicara dengan tenang.

"Nggak mau." Sambil mengipas sembarang lukanya.
"Gatal, Put" Dia tidak menanggapi respon yang kubilang.
"Iya,  sini itty garuk."

Itulah percakapan terakhir kita. Dan ketika Mama datang untuk
menggantikanku merawatmu,  aku mencium keningmu untuk pamit pulang.
Ciuman pertama kita.  Ciuman terakhir kita disaat kau masih bernyawa.

20 Mei 2014
Aku bermunajat doa malam ini,  sesaat tadi sore,  fotomu terpampang
disebuah halaman utama koran lokal.  Judulnya mengerikan: "KISAH
SEBULAN SERANJANG YANG DIPISAHKAN KOBARAN API"
Aku bergidik membacanya.
Selamat ulang tahun,  Tepat hari ini kau berusia 26 tahun. Tepat
sehari sesudah kepergianmu selama-lamanya.

Tepatkah kado yang kau inginkan dariku?


 
blogger template by arcane palette